Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya memberi rapor dengan skor 8,7 atas dua tahun kepemimpinan Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya dan Armuji wakilnya.
Reni Astuti Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya menyebut, lima poin koreksi yang harus diperhatikan bagi dua pemimpin Surabaya itu, terdiri dari penanganan kemiskinan, pengangguran, banjir, kemacetan, dan pendapatan daerah.
Menurutnya, penurunan angka kemiskinan di Kota Surabaya hanya karena perubahan indikator pengumpulan data. Bukan jumlah keluarga miskin berkurang.
“Bukan karena banyaknya keluarga yang faktanya miskin lalu terentaskan. Sebutan data kemiskinan yang semula menggunakan istilah MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) saat ini menjadi Keluarga Miskin (Gakin) dan keluarga Pra miskin. Awal 2022 jumlah MBR 1,3 juta jiwa, saat ini jumlah gakin 219.427 jiwa dan pra miskin 248.299 jiwa. Kondisi ini masih menjadi pekerjaan rumah. Apalagi ada target terkait dengan 23.530 jiwa rakyat miskin ekstrem di Kota Surabaya yang perlu dituntaskan dalam waktu satu tahun dari target nasional. Sementara komitmen kepala daerah melalui Perwali 106 Tahun 2022 menyebutkan bakal mengentaskan kelompok keluarga miskin dalam jangka dua tahun,” paparnya, Selasa (28/2/2023).
Reni mengingatkan, strategi penanganan kemiskinan yang harus dilakukan, salah satunya akurasi data.
“Penanganan yang tidak tepat dapat berpotensi memperparah status mereka, maka pemkot perlu perhitungan dan secara cermat untuk mengatasi masalah ini. Ada tiga strategi penanganan kemiskinan yang saya sampaikan yaitu akurasi data, perlindungan dan pemberdayaan,” imbuhnya.
Kedua, pengangguran yang masih mengantarkan Surabaya menempati 10 besar di Jawa Timur.
“Pengangguran masih jadi problem kota. Berkaca pada tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Surabaya yang meski secara angka menurun 2 persen dari tahun sebelumnya namun masih menyisakan persoalan. Pertama, Surabaya masuk dalam kategori sepuluh besar peringkat pengangguran di Jawa Timur. Bila dikonversi, 7,62 persen TPT tahun 2022 setara dengan 114 ribu orang. Selain itu, raihan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 82,74% tertinggi se-Jawa Timur di tahun 2022 namun belum mampu merangsek naik ke jajaran lima besar nasional. Baik di tahun 2021 dan 2022 Surabaya stagnan bertengger di urutan ke-13 se-Indonesia. Sisi lain, Ide bagus berupa program rumah padat karya merupakan upaya untuk memanfaatkan aset mangkrak guna membuka lapangan pekerjaan bagi MBR selain akses berbagai bantuan-bantuan lainnya. Meski membawa hasil, namun belum signifikan. Karenanya program padat karya ini perlu lebih kreatif dan diperkuat serta diperluas,” jelasnya.
Ketiga, banjir masih terjadi di sebagian wilayah Kota Surabaya karena saluran terintegrasi belum terbangun.
“Terlebih ketika intensitas air hujan begitu lebat mengguyur dalam kurun waktu 1-2 jam saja sudah tampak ruas-ruas jalan terendam banjir,” tambahnya.
Keempat, kemacetan di Surabaya menurut Reni belum ada perkembangan berarti.
“Kalau pun tahun ini benar-benar mendapat perhatian maka harapannya ada perubahan yang dapat dirasakan masyarakat. Sistem tranportasi massal masih menjadi mimpi dan harapan. Kemacetan makin meluas, tidak lagi berada di jalan-jalan protokol, melainkan merembet hingga ke pinggir-pinggir kota,” terangnya.
Selain itu pendapatan daerah masih harus digenjot Pemkot Surabaya.
“Kekuatan APBD Rp 11,3 triliun pun menjadi krusial. Di sektor pendapatan mesti digenjot menggali potensi pendapatan daerah. Baik dari sektor BUMD maupun potensi pendapatan lainnya semisal parkir dan potensi lainnya. Kerja sama pemerintah dengan badan usaha bisa menjadi alternatif dalam pembangunan infrastuktur atau program yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat,” tutur Reni.
Selain lima koreksi, menurut Reni, juga ada lima capaian yang patut diapresiasi. Mulai pelayanan publik, bidang ekonomi, bidang kesehatan, bidang pendidikan, serta stabilitas sosial, ketentraman dan politik.
Reni melanjutkan, 2023 menjadi kesempatan terakhir kepemimpinan Eri dan Armuji sebagai ajang pembuktian.
“Kepemimpinan periode ini punya waktu penuh selama 12 bulan, karena 2024 sudah masuk masa pemilu dan pilkada 2024. Jika kepala daerah periode sebelumnya bisa penuh memimpin selama 5 tahun, periode ini tidak sampai penuh 5 tahun dan diawal menjabat pun harus fokus pada upaya penanganan pandemi covid-19,” tutupnya. (lta/ihz/ipg)